Sabtu, 25 Oktober 2014

Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama

"Juallah kepadaku seekor kambing tuanmu itu dan katakan padanya bahwa ada serigala yang menerkamnya,” demikian Umar r.a. menguji kejujuran seorang pengembala.

“Tetapi bagaimana dengan Tuhan, di mana Dia?” sahut pengembala.


Cuplikan dialog ini, muncul dalam benak saya ketika mendengar dialog antara seorang pengemudi dengan seorang Polisi Lalulintas

“Saudara telah melanggar peraturan,“ kata seorang Polisi.

“Sudahlah Pak!” jawab sang pengemudi sambil merogoh saku mengeluarkan uang lima ribuan (ketika itu sekitar tahun 1990-an).

“Eh, saya telah digaji oleh negara, “ Demikian Bapak Polisi menolak sambil menilang sang pengemudi.

Apakah kejadian seperti di atas merupakan kejadian langka atau tidak, bukan itu yang dipermaslahkan. Tetapi, yang ingin saya garisbawahi adalah bahwa pada diri Polisi dan pengembala tersebut ada sesuatu yang tersembunyi tetapi menghasilkan sesuatu yang nyata. Yang tersembunyi perlu dicari dan diwujudkan melalui proses pendidikan, khususnya pendidikan agama.

Al-Ghazali (1058-1111M) yang digelari “Hujjat Al-Islam”([Pengurai] Bukti Kebenaran Islam) pernah berusaha mencari dan mewujudkanya melalui karya besarnya Ihya’ ‘Ulum Al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama). Dari nama karya ini, pada masanya diketahui bahwa beliau merasa bahwa ilmu-ilmu agama telah mati dalam jiwa pemeluknya dan perlu dihidupkan kembali. Karya besarnya ini mengguncangkan dan mempengaruhi seluruh Dunia Islam hingga kini.

Sekarang ini, kita membutuhkan semacam apa yang dilakukan oleh Al-Ghazali. Kita perlu menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama.

Di Indonesia kita mempunyai GUPPI (Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam). Organisasi ini bukan merupakan usaha perorangan, seperti usaha Al-Ghazali, tetapi merupakan gabungan usaha, sehingga sukses yang diharapkan darinya melebihi sukses yang diraih oleh Al-Ghazali. Entah kalau cara yang digunakanya keliru.

Abdul Halim Mahmud, Mantan Syaikh Al-Azhar, menulis tentang rahasia sukses Al-Ghazali: "Keikhlasan adalah modalnya. Dia berusaha mengembalikan keikhlasan ke dalam hati, dimulai dari titik tolak, sarana sampai pada tujuan dan cita-cita. Al-Ghazali sendiri mengakui bahwa sebelumnya dia merasakan bahwa dirinya selama ini lebih menuntut popularitas serta kedudukan di sisi manusia dan penguasa.”

Sementara itu, Zaki Najib Mahmud menulis :”Yang dihidupkan oleh Al-Ghazali adalah rasa takut terhadap Allah. Tadinya ‘takut’ hanya diucapkan oleh lidah, kemudian Al-Ghazali berhasil mengalihkan sehingga dirasakan oleh hati, yang kemudian menghasilkan upaya-upaya konkret di dunia nyata. Dia berhasil pula menjadikan ucapan Nabi---‘Sesungguhnya Allah senang pada hamba-Nya yang apabila bekerja dia berusaha untuk mewujudkannya dalam bentuk seindah atau sebaik mungkin’---bukan sekadar dihafal, tetapi juga dihayati dan diamalkan.

Saya tidak memiliki jawaban jika Anda bertanya, apakah cara itu juga yang harus kita tempuh dewasa ini.[]

M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 352-354
TERBARU!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...