Jumat, 03 Oktober 2014

Belajar kepada Gandhi dan Hasan Al-Bashri

Habiburrahman El Shirazy

Dalam acara bedah novel “Ayat Ayat Cinta” di kota Medan, selesai acara ada seorang ibu bertanya kepada saya, “Menurut Anda, apa yang semestinya kita lakukan untuk mengatasi bangsa kita yang sudah carut-marut ini?.” Saya tersentak. Sungguh pertanyaan ini membuat saya bingung. Saya tidak tahu harus menjawab apa.

“Apa tidak salah alamat?” batin saya. “memangnya saya ini siapa, kok ditanya masalah sebesar itu? Memang saya ini telah melakukan apa, sampai dianggap layak menjawab pertanyaan besar itu?

Seketika ingatan saya berkelebat pada satu adegan yang pernah dialami oleh Mahatma Gandhi. Suatu hari, seorang ibu menemui Gandhi dan memintanya menasihati anaknya supaya tidak makan permen lagi. Saat itu Gandhi hanya berkata, “Ibu, pulanglah dulu, bawalah putra ibu ke sini beberapa hari lagi,” sang ibu pun patuh.

Beberapa hari kemudian ibu itu datang kembali membawa putranya. Gandhi lalu menasihati putra ibu itu. “Nak, jangan makan permen ya!” hanya itu. Merasa aneh dengan apa yang dilakukan Gandhi, sang ibu bertanya, “Tuan, kalau hanya mengatakan itu, kenapa tidak kemarin saja saat pertama kali saya datang? Kenapa baru sekarang?”. Bapak Bangsa India itu menjawab, “Ibu, saat itu saya masih makan permen, tapi sekarang tidak lagi.”

Ingatan saya lalu sampai pada seorang tabi'in agung, Imam Hasan Al-Bashri. Dia adalah ulama besar yang disegani siapa saja dan perkataannya didengarkan siapa saja. Suatu hari para budak di Kota Basrah datang menemuinya. Mereka meminta padanya agar dalam khotbah Jum’atnya menyerukan kepada para penguasa dan orang kaya membebaskan para budak. Sebab Alquran menyerukan pembebasan budak. Tabi'in besar itu hanya mengangguk dan berkata lirih, “Insya Allah.”

Saat hari Jum’at tiba, para budak itu menanti khotbah sang Imam. Khotbah yang akan membuat mereka merdeka dari perbudakan. Namun, mereka kecewa, sang Imam sama sekali tidak menyinggung keutamaan membebaskan budak. Jum’at berikutnya mereka menanti janji sang Imam. Namun, mereka kembali kecewa. Dua bulan lebih mereka menanti dan mereka hampir putus asa. Mereka menyangka sang Imam tidak menepati janjinya.

Setelah lewat tiga bulan, pada suatu Jum’at, sang Imam berkhotbah dan menyeru kepada penduduk Kota Basrah agar membebaskan budak, lengkap dengan segala pahala dan keutamaannya. Usai shalat Jum’at, ribuan budak dibebaskan. Para budak menangis bahagia. Di antara mereka ada yang mendatangi sang Imam dan protes, “Imam, kenapa baru sekarang kau serukan, kenapa tidak sejak dulu saat kami minta padamu?”

Sang Imam menjawab, “Saat itu aku belum pernah membebaskan budak. Dan aku tidak punya uang untuk membebaskan budak. Aku bekerja keras untuk memiliki uang. Sampai akhirnya setelah tiga bulan aku punya uang, lalu aku membeli seorang budak dan langsung aku merdekakan. Barulah aku berani khotbah dan menyerukan pembebasan budak. Aku ingin menjadi yang pertama yang melakukan apa yang aku sampaikan.”

Barulah mereka mengerti kenapa ucapan Imam Hasan Al-Bashri itu didengarkan oleh siapa saja.

Tentu saja saya tidak ingin mensejajarkan diri dengan dua tokoh yang luar biasa itu. Saya hanya merasakan problem yang sama, yang pernah dialami Gandhi dan Hasan Al-Bashri. Seorang santri penulis novel semacam saya tiba-tiba harus menghadapi pertanyaan tentang menentukan nasib bangsa. Dan saya belum pernah punya pengalaman mengatasi bangsa yang carut-marut.

Ada semacam irasionalitas, sekali orang dianggap sukses dalam satu hal, lalu dia diposisikan sebagai manusia serbatahu. Lalu, melimpahlah beragam pertanyaan kepadanya, bahkan pertanyaan yang mungkin tidak dalam bidang yang dikuasainya. Hanya karena menulis novel “Ayat Ayat Cinta”, terus saya ditanya bagaimana mengentaskan bangsa yang carut marut.

Apakah saya harus berlaku seperti Gandhi atau Hasan Al-Bashri, meminta ibu itu untuk menunggu beberapa waktu, sampai saya punya pengalaman nyata dulu? Rasanya sangat sulit.

Jawaban pasti atas pertanyaan ibu itu, jujur, saya belum menemukannya. Saya tidak mau asal menjawab. Saya tidak mau terjebak slogan-slogan besar yang kosong. Saya tidak mau membicarakan nasib bangsa, tapi pada saat yang sama justru menjadi bagian dari pembawa masalah bangsa.

Tidak ingin berlama-lama dalam pikiran saya sendiri itu, akhirnya dengan sangat terpaksa, saya memberikan jawaban, “Ibu, hal yang paling utama yang bisa kita lakukan untuk ikut memperbaiki bangsa ini adalah berusaha sebaik mungkin untuk diri kita. Sebelum memperbaiki bangsa, sebaiknya memperbaiki diri sendiri. Jika semua penduduk negeri ini membenahi dirinya sendiri dengan baik, menurut saya, itu usaha terbaik membenahi bangsa ini.

Saat mengucapkan itu, bibir saya bergetar, ada rasa takut bahwa saya tidak seperti Gandhi atau Hasan Al-Bashri. Saya takut telah menyampaikan sesuatu yang tidak saya lakukan. Saya hanya mencoba belajar pada Hasan Al-Bashri dan Mahatma Gandhi.…
TERBARU!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...